Pada era modern sekarang sangat mudah menemukan berbagai informasi mengenai edukasi mental health. Bahkan tak jarang, belakangan ini banyak webinar-webinar yang diadakan secara khusus membahas mengenai kesehatan mental para remaja terutama pada generazi Z. Masalah yang biasa dihadapkan generasi Z yaitu terlalu berpikir berlebihan, merasa berada di keluarga yang beracun (toxic family), kurang percaya diri dan berbagai masalah lain. Perlu diketahui bahwa masa remaja memang masa yang sangat rentan, dimana pada masa ini remaja sedang mencari jati dirinya. Permasalahn di Indonesia saat ini adalah isu kesehatan mental bisa dikatakan masih tabu. Apabila seseorang pergi berkonsultasi ke psikolog orang berpendapat dan langsung menyimpulkan bahwa dia gila. Oleh karena itu, banyak orang yang masih ragu untuk datang ke psikolog, jikapun ingin maka harus dengan cara sembunyi-sembunyi. Kalau sudah di cap seperti itu, akses mereka untuk mendapatkan pengobatan yang layak akan semakin sulit, ujung-ujungnya dikucilkan masyarakat dan jadi bahan omongan dimana-mana.
Banyak remaja yang selalu menuliskan keresahan, permasalahan dan bahkan keinginan untuk self harm di media sosial. Hal ini tentu akan sangat berdampak negatif. Terutama pada komentar-komentar netizen yang tidak bisa di filter. Satu komentar negatif bisa saja membuat mereka nekat melakukan aksi yang terburuk. Jadi hati-hati, karena jari-jari kita bisa menjadi pisau tajam untuk mereka yang sedang mengalami kekalutan mental. Alasan kenapa banyak penyandang kekalutan mental curhat di media sosial karena mereka merasa bahwa lingkungan sekitar (dunia nyata) sudah tuli dan tidak peduli. Lalu, apa yang harus dilakukan jika kita menemukan konten kacau mental atau self harm di sosial media?
1. Jangan pernah Upvote atau likes
Semakin tersebar maka penyandang gangguan mental ini akan merasa bahwa memang media sosial adalah cara terbaik untuk bercerita. Padahal para ahli psikologi menyatakan bahwa media sosial bukanlah tempat yang disarankan untuk bercerita. Dampak paling parah yaitu satu komentar negatif bisa menjadi pisau yang tajam dan dapat memperparah kondisi mental merka bahkan melakukan aksi paling buruk.
2. Berikan dukungan positif melalui komentar dibolehkan
Orang-orang yang mengalami gangguan mental butuh dukungan positif dan bukan toxic positivity. Jika kita melihat postingan mengenai seseorang yang sedang curhat mengenai mental mereka dan kita bukanlah orang terdekat, maka berkomentar dan berikan dukungan postif. Jika tidak yakin dengan komentarmu, lebih baik diam. Bentuk dukungan bisa seperti komentar positif di media sosial mereka :
“Halo, salam kenal. Boleh tahu kamu suka makan apa? Aku butuh teman nih buat makan virtual, mau, ya, aku kirim kamu makanan? Habis itu kitab bisa ngobrol ringan via virtual, semoga kamu mau jadi temanku”
atau kalau kamu adalah seorang penyayang hewan dan ternyata kalian tinggal satu kota dan bisa bertemu :
“Halo, kamu suka hewan apa? Aku punya kucing lucu-lucu, nih. Cuma aku bingung kebanyakan kucing. Mamaku, gak bolehin melihara banyak-banyak. Kamu mau, gak, aku kasih kucing aku satu, anggora loh. Cantik banget kaya kamu, kalau mau, boleh ketemuan ya?”
Tidak mudah memang menjadi orang positif dan orang baik. Tapi, kita bisa melakukan itu sebagai aksi nyata bahwa kita mendukung orang yang tidak kita kenal. Jangan pernah menasehati atau menyinggung masalah mereka. Kita tidak kenal dengan mereka dan masalahnya.
3. Jangan pernah membaca konten kekalutan mental jika pernah mengalami
Skip and blocked. Itu cara terbaik menangani penyintas kekalutan mental, bukankah mental kita juga harus dilindungi?
Intinya adalah jangan pernah meremehkan Kesehatan mental seseorang. Karena itu adalah harta paling mahal dan tidak mudah untuk diobati. Berbeda dengan sakit fisik. Mental health itu lebih mahal harganya. Jika kita merasa membutuhkan bantuan psikologis, segera hubungi profesioan, jangan sampai kita melakukan self-diagnosing. Kemudian perbanyak pengetahuan gangguan mental, dan bhagiakan diri kita sendiri.
Author: Septi
Source: Quora